Si tiran memaksa untuk berbaris rapi mengikuti.
Menyilang lengan di dada tak peduli menginjak budi yang tak mampu lagi berdiri.
Si tiran lahir dalam balutan bedong egoisme membesarkan embrio yang tak kenal hati selain miliknya sendiri.
Kemenangan telah terkepal, budi dan revolusi bak pemimpi dan impian yang terpisah jarak sejak tangisan pertama.
Lensa mata si tiran akan kondisi berbalik arah dengan tatapan mata budi, mengais belai lembut karena tak ada lagi bisa menuai benih padi.
Si tiran mencengkram budi sampai ke dalam hati, membelenggu dengan senyum manis dan seperti janji laki-laki untuk selalu menari.
Membusungkan dada berarti kiamat bagi budi.
tamparan keras membinasakan seketika nyali untuk mematok harga tinggi.
Si tiran baru blajar berdiri, budi sudah mengerti berbagi.
Belajar memeluk individualisme berkuasa sedangkan mengerti karena hidup bersama.
Budi merangkak dalam air matanya sendiri mencari nyali untuk berdiri.
Menantang mengembalikan kesetaraan, menantang nada tinggi tanpa retorika sama sekali.
Budi diam menantang Si Tiran merindukan anggukan kepala.
Egois mungkin hanya sepatah atom dari sifat sang Tiran, tapi menjadi viagra untuk membuat sekelas dengan gravitasi.
Fluktuasi suasana hati menjadi orbit Budi bagai planet mengitari matahari.
Menantang gravitasi berarti tidak memijak bumi.
Menolak mentah genggaman tangan Si Tiran berarti hilang kendali.
Walau bahwa setiap diri adalah yang berhak atas kendali.
Bajingan! Budi masih terbuai.
No comments:
Post a Comment