
Teman tersebut mengeluh kelaparan di perjalanan pulang pukul setengah tiga pagi. Saya bilang tidak ada yang bisa dimakan malam-malam begini, tidak ada restoran atau warteg yang buka. Saya tidak menawarkan fast food 24 jam karena takut dia tidak suka. Entah setan apa yang menggodanya atau memang suara tangisan perut sudah tidak bisa ditolerir lagi sampai akhirnya dia meminta saya untuk mampir di salah satu resoran fast food 24 jam dan segera memesan paket hamburger dan minuman soda dan kentang goreng.
Begitu juga dengan teman saya yang sangat gemuk. Jarak antara rumah dan kampusnya lumayan jauh. Sehingga dia tidak punya waktu banyak untuk makan pagi dan makan sore sepulang kuliah untuk menghindari macet dan terlambat datang dan pulang. Untuk mengatasi nafsu makannya yang hampir di luar batas kewajaran itulah fast food berperan besar dalam hidupnya. Setiap pagi dia mampir di restoran fast food lagi-lagi melalui fasilitas drive thru untuk sarapan. Begitu juga setiap sore saat pulang kuliah. Saya sempat bertanya mengenai ketergantungannya dengan fast food, dia bilang ”ini yang paling cepat, lagipula makanan enak nggak ada yang sejalan antara rumah dan kampus.” padahal dia pernah bilang bahwa dia pernah mengalami penurunan berat badan sebesar 7 kilogram saat hampir dua bulan tidak menyentuh fast food sama sekali. Sebuah prestasi buat temanku si gemuk itu.
Cerita teman tadi mungkin menjadi bukti bahwa kemudahan mendapatkan makanan cepat saji dapat mengatasi masalah perut seseorang dalam pola hidup masyarakat yang serba urgent. Bahkan untuk seseorang yang bisa dibilang anti terhadap fast food sekalipun.
Lalu apa sebenarnya kecenderungan orang memilih makan makanan cepat saji? Apa hanya pola hidup masyarakat yang tidak lagi teratur sehingga semuanya harus cepat dan spontan kah? Atau kehidupan masyarakat kota yang super sibuk kah? Atau makanan cepat saji memang enak? Lalu apa dampaknya terhadap kesehatan? Apakah makanan cepat saji baik dikonsumsi terus menerus? Bagaimana dengan dampak terhadap perkembangan bisnis kuliner di kota besar?
Coba kita coret kecenderungan dan dampak-dampaknya tapi tinggalkan kesehatan.
Pada dasarnya fast food mungkin memenuhi standar-standar kesehatan. Kebersihan dalam pembuatan dan penyimpanan seharusnya sudah diawasi melalui standar-standar internasional tersendiri. Selain itu daging yang dipilihpun adalah daging yang konon didatangkan langsung dari negaranya sana dan memang daging dari hewan yang dipelihara secara khusus untuk dikonsumsi. Jadi tidak salah kalau protein yang dimiliki sebuah burger atau fried chicken adalah tinggi.
Tapi tidak hanya protein, lemak yang dikandung juga tak kalah banyak. Menurut data dari Institut Pertanian Bogor, dalam sebuah fried chicken mengandung sekitar 290 – 400 kkal per potongnya tergantung dari ukuran dan berat setiap ayam.
Bukan hanya ayam saja yang dikonsumsi dalam sekali mengunjungi restoran fast food, kentang goreng adalah salah satu pasangan sejati fried chicken. Dengan berat 80-100 gram, kentang goreng memiliki kalori sebesar 180-400 kalori.
Di dalam tubuh, lemak akan mengalami beberapa proses, salah satunya adalah proses auto-oksidasi yang mempercepat peningkatan kadar radikal bebas di dalam tubuh. Radikal-radikal bebas tersebut membuktikan bawa namanya memang tepat. Dengan bebas dan radikal, mereka menyerang berbagai senyawa tubuh yang akhirnya memicu timbulnya berbagai penyakit seperti, jantung koroner, pengerasan pembuluh darah, stroke dan kanker.
Paling tidak timbunan lemak, kalori dan kolesterol akan berakhir pada penyakit musuh besar para wanita yang mendewakan keseksian tubuh dan juga bagi teman saya si gemuk itu. Kegemukan.
Kegemukan atau obesitas mungkin diperangi bukan hanya wanita tapi juga gender lainnya karena kegemukan bisa belanjut kepada hipertensi, penyempitan pembluh darah dan gangguan jantung. Bayangkan juga bila anak-anak yang mengalami penyakit-penyakit di atas akibat kegemukan terlalu banyak mengkonsumsi makanan cepat saja karena supersibuknya orangtua mereka berkarir.
Disamping membludaknya kalori, dalam makanan cept saji juga terdapat kandungan gula yang tinggi. Terutama gula buatan yang menyebabkan penayakit mulai dari kerusakan gigi, obesitas sampai diabetes. Konsumsi gula yang berlebihan juga akan meningkatkan kadar gula dalam darah yang menyebabkan tubuh memproduksi insulin yang lebih banyak. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hal tesebut menyebabkan yang disebut dengan sindrom kadar gua dalam darah, yang menyebabkan badan menjadi lesu, sulit konsentrasi, dan mudah marah. Dalam penelitian tersebut sempat disebutkan hubungannya dengan perilaku kekerasan. Karena peningkatan kadar gula dalam darah diikuti dengan peningkatan produksi hormon adrenalin, pada akhirnya mendorong sesorang untuk bersikap agresif, sedangkan kadar gula paling banyak ditemukan dalam minuman soda, yang tak lain adalah minuman wajib bagi para pecinta fast food atau paling tidak bagi orang yang sedang menikmati satu paket fast food.
Beberapa fast food juga ternyata memiliki kandungan zat timah, alumunium, dan tembaga yang bisa menyerang fungsi otak sehingga kecerdasaan seseorang bisa menurun karena kekurangan gizi.
Bisa jadi fast food lah yang menyebabkan tawuran pelajar, tawuran antar warga, antar geng, ataupun kemarahan beberapa ormas yang sedang marak saat ini. Pada saat itu tentunya emosi yang berkuasa atas tubuh bukan otak.
Bagaimana dengan junk food? Apakah sama arti dengan fast food?. Yang tergolong junk food adalah makanan yang kandungan nutrisiya terbatas. Kandungan gula, garam, lemak lemak dan kalorinya tinggi tapi sedikit gizi.
Dan ternyata tidak hanya makanan dari restoran cepat saji saja yang diklaim sebagai makanan cepat dan berbahaya. Keripik kentang keju, biskuit gurih dan manis, semua dessert dan cake yang manis dan menggoda, permen kegemaran anak-anak, ayam goreng yang digoreng sendiri di rumah dan mie ayam bakso yang berlemak pun adalah junk food.
Beberapa negara sudah mulai menyatakan perang terhadap makanan cepat saji. Bahkan iklan fast food pun sudah mulai dibatasi. Mungki peraturan seperti itu juga baik bila diterapkan di negara ini mengingat bertaburannya restoran-restoran fast food di penjuru kota, mobilitas masyarakat yang sangat tinggi sehingga makanan rumahan seperti gado-gado dan semur jengkol sudah mulai ditinggalkan dan banyaknya orang dewasa bahkan anak-anak mengalami kegemukan.
Lalu harus makan apa kalau semuanya terasa begitu sulit untuk dimakan?. Tidak pelu menghitung jumlah kalori, lemak, kolesterol, gula dan zat besi yang tekandung dalam setiap hidangan. Kalau anda adalah omnivora seperti saya, tidak akan ada banyak pilihan karena menghitung sama saja memperkecil jumlah hidangan favorit. Sedangkan usus semakin mengunyah tubuhnya sendiri.
Makan saja apa yang inigin dimakan. Bahkan fast food sekalipun. Tapi ingat dalam hidup ini semua itu harus seimbang. Atau setidaknya sesuai porsinya. Seperti pendapatan dan pengeluaran, istri pertama dan istri kedua dan tentunya fast food dan nasi rames.
Di amerika serikat masalah kegemukan telah menjadi masalah nasional yang serius, karena banyaknya angka kematian akibat obesitas. Kalau itu terjadi di negara kita, siapa yang akan kita salahkan? Si kolonel? Si badut? Penjual ”fred chiken” pinggiran? Atau sebagian masyarakat yang tidak bisa menyisakan waktu untuk makan makanan bergizi?. Urusan perut memang menyebalkan.
No comments:
Post a Comment